Postingan

Dorong Hobi Jadi Buku

Gambar
Mereka yang tidak bisa manjat tebing, pasti terkagum-kagum dengan para climbers. Wah, gimana ya caranya? Kita yang tidak bisa, biasanya hanya berhenti pada kekaguman sesaat. Sedangkan mereka yang bisa memanjat tebing itu, mereka tidak bisa begitu saja. Tapi, melalui kerja keras! Yang suka panjat tebing dulunya mungkin adalah mereka yang suka pada tantangan. Mereka lihat gunung begitu tinggi menjulang. Mereka jadi terpicu untuk menaklukkan alam tersebut. Akhirnya, mereka pun latihan. Mereka hobi dengan latihan-latihan itu. Pada saatnya nanti ketika berkali-kali mereka berlatih (termasuk di dalamnya: kegagalan demi kegagalan), mereka pun keluar sebagai pemanjat sejati. Mereka bisa begitu, karena latihan saja dan menjadikan panjat tebing sebagai hobi. Tak jauh dengan panjat tebing itu adalah menulis. Pertama kali lihat seorang penulis me-launching bukunya, kita jadi terheran-heran. Wah, hebat banget tuh dia! Kita pun jadi kepengen sekali untuk bisa. Tapi, usaha kita sering bersifat

Sesat Pikir Pemuda Kita

Gambar
oleh Yanuardi Syukur "PEMUDA adalah harapan bangsa. Ya, bisa jadi—atau kita sepakati saja—itu betul. Pemuda, dalam banyak literatur disebut sebagai pelopor kebangkitan. Dalam sejarah Indonesia modern, kiprah kaum muda selalu disandingkan dengan perubahan sosial politik. Dari keberanian pemuda untuk bersumpah pada 1928, negeri ini jadi merdeka, pergantian kuasa dari lelaki berakhiran "no" (Soekarno) ke "to" (Soeharto), hingga reformasi dan penjatuhan rezim (sebutlah itu rezim Gus Dur), kiprah pemuda selalu tak ketinggalan. Namun, tak jarang dari predikat pemuda sebagai harapan bangsa itu, ada saja sesat pikir di dalamnya. Syahwat kuasa yang begitu tinggi, meraup duit dengan memanfaatkan posisi juga ada. Setidaknya, sesat pikir yang ada di kalangan pemuda, bisa kita lihat pada pikiran sederhana (simple minded), "pertarungan" antara mempertahankan independensi ataukah dependensi, berorientasi duit (fulus/money), hingga gaya parlente nan konsumtif sebagai

Menyoal Mentalitas Bangsa

Gambar
oleh Yanuardi Syukur “When one door of happiness closes, another opens; but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us." --Helen  Keller PENDEKAR Antropologi Indonesia, Prof. Koentjaraningrat pernah menulis tentang mentalitas bangsa Indonesia. Bukunya yang berjudul  “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan” (1974), dikaji oleh berbagai kalangan. Isi bukunya yang menjelaskan tentang mentalitas bangsa Indonesia itu, nampaknya masih relevan dengan kondisi sosial kita saat ini. Ada hal baik—seperti juga dalam kategorisasi Wartawan Senior Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia—juga ada hal buruk. Mentalitas yang buruk, ada yang sifatnya kelanjutan dari kolonialisme, juga ada karena mental asli bangsa yang berkembang sejak lama. Kasus malasnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) masuk kantor, anggota dewan yang lebih suka melancong buang-buang duit tidak produktif, serta bangunan kebiasaan masyarakat yang—seperti kata Keller di atas, “terlal

Lihat Nil, Rindu Mesir

Gambar
Oleh Yanuardi Syukur Sungai Nil Ada semacam “kebanggaan” bagi salahsatu bangsa dengan peradaban tertua ini. Prof. Dr. Hamka, suatu waktu menulis tentang itu. Kata Hamka, orang Mesir berkata bahwa siapa yang pernah meminum air dari sungai Nil, maka hatinya akan selalu rindu untuk kembali ke Mesir. Bisa jadi itu benar. Novel  bestseller  karya alumnus Al-Azhar, Habiburrahman El-Shirazy—Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih—adalah semacam kerinduan kepada Mesir yang ia tuangkan dalam novel “pembangun jiwa”-nya itu. Kerinduan pada Nil itu, beralasan memang. Setidaknya, sejak lama anak negeri kita juga rindu akan Mesir. Sudah banyak ulama yang menimba ilmu di sana. Ada Mahmud Yunus, salah seorang penerjemah dan penafsir Al-Qur’an kita yang termasuk generasi awal. Hamka mendapatkan gelar doktor kehormatan (Honoris Causa/HC) pada 1958 dengan pidatonya tentang pengaruh Muhammad Abduh terhadap tokoh pembaharu Islam di Indonesia, juga dari Al-Azhar. Gus Dur, pernah juga di sana—walau tak ta

Yanomamo ala Cikeusik

Gambar
Oleh: Yanuardi Syukur TIGA  orang tewas dalam sebuah penyerangan terhadap jema’ah Ahmadiyah (06/02). Di Cikeusik, Banten, penyerangan ini menjadi  headline  di berbagai media massa—cetak maupun elektronik. Melihat itu, timbul sebuah pertanyaan, kenapa perbedaan harus disikapi dengan kekerasan—termasuk dengan penghilangan nyawa? Apa yang dilakukan oleh kelompok massa di Cikeusik itu tampaknya ingin memperlihatkan keganasan tertentu. Bisa jadi ini adalah kelanjutan dari tribalitas tradisional yang kerap suka dengan kekerasan. Di masyarakat sederhana, keganasan pada titik tertentu bisa dianggap sebagai sebuah cita-cita. Lelaki di suku Indian Yanomamo, misalnya, mereka kerap berkelahi, dan aktivitas ini menurut mereka adalah cita-cita—semacam paradigma—yang menganggap bahwa “lelaki itu harus keras” (Haviland, 1988: 419).  MENYIKAPI DA’TSUR Ahmadiyah, oleh kaum muslim  mainstream  (arus utama) yang mayoritas di atas bumi ini menganggap bahwa Ahmadiyah adalah gerakan yang sesat. Beberapa neg

Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Pengantar

Gambar
Oleh: Yanuardi Syukur “Jika Anda memiliki kemauan untuk menang, Anda telah memperoleh setengah dari keberhasilan Anda; jika Anda tidak memilikinya, Anda telah memperoleh setengah dari kegagalan Anda.” DAVID AMBROSE “Orang-orang selalu mempunyai ide-ide cemerlang, namun mereka tidak melakukan sesuatu tentang idenya tersebut. Jadi jika anda punya sesuatu yang menurut anda akan berhasil, jalani saja dalam skala kecil, dan lihat hasilnya.”  MARISSA SHIPMAN MANAKAH yang utama: Sumber Daya Alam (SDA) atau Sumber Daya Manusia (SDM)? Kedua sumber ini penting sifatnya, namun yang lebih penting adalah SDM. Kenapa? SDA bisa habis dengan perjalanan waktu. Tapi SDM tidak akan habis. Gunung emas (SDA) bisa habis setelah dikeruk oleh perusahaan besar dengan alat-alat canggih.  Tapi pemikiran manusia, ilmu pengetahuan pertambangan yang dimiliki tak akan habis, bahkan bisa berkembang terus. Ketika sebuah tempat mengalami kehabisan  stock  emas, maka manusia yang berakal, berpengetahuan, bisa membuka la

Batas Jatah Pemimpin

Gambar
Oleh: Yanuardi Syukur “Leadership is action, not position, (Kepemimpinan itu aksi, bukan posisi).” --Donald H. McGannon Dari jaman kapak hingga ponsel yang digenggam ini, masalah kepemimpinan selalu menarik. Dalam komunitas sederhana, seperti mereka yang berburu dan meramu, rupanya telah ada pemimpin. Di antara hewan-hewan buas, juga ada yang jadi pemimpin—terutama mereka yang menang dalam sebuah pertarungan. Hingga kini, dalam komunitas yang paling sederhana sekalipun, hingga yang begitu kompleks (seperti negara atau organisasi internasional), ada pemimpinnya—baik yang namanya ketua, ataukah yang diamanahkan kepada sekretaris jenderal. Apa tugas dari pemimpin itu? Kata Henry Kissinger, tugas para pemimpin adalah “menggerakkan orang-orangnya dari tempat mereka sekarang ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi.” Berarti bahwa pemimpin itu orang-orang terpilih yang punya visi yang jauh ke depan. Mereka punya impian yang impian itu menggerakkan massa rakyatnya atau komunitasnya untuk m